Selayang Pandang Komoditi Cengkeh


Bunga cengkeh yang bernama Latin Syzygium aromaticum atau Eugenia aromaticum merupakan tanaman asli Indonesia. Bangsa Eropa bisa sampai datang untuk menjajah Indonesia pada masa lalu konon karena faktor rempah-rempahnya (salah satunya cengkeh) yang melimpah saat itu. Di periode waktu yang sama di masa lalu, harga rempah-rempah di Eropa sangat tinggi karena faktor iklim yang tidak cocok untuk budidaya tanaman rempah-rempah, sangat besarnya biaya impor (transportasi masih sulit dan perlu waktu lama serta biaya-biaya lain yang besar). Bangsa Belanda ingin memonopoli perdagangan rempah-rempah di Indonesia melalui VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie/Perusahaan Hindia Timur Belanda)*, tidak segan-segan berperang dengan negara Eropa lain yang ingin menjajah Indonesia karena tidak ingin usaha mereka terancam oleh negara lain di mana keuntungan dari monopoli perdagangan rempah-rempah ini sangatlah besar.

image

Bunga Cengkeh

Adapun penggunaan utama cengkeh di tanah air adalah sebagai bahan untuk rokok kretek, bumbu dapur dan sebagai bahan jamu/obat tradisional. Cengkeh banyak diserap oleh pabrik-pabrik rokok besar seperti Gudang Garam, Djarum, Sampoerna, Bentoel dan pabrik rokok kecil lainnya. Selain bunga cengkeh, tangkainya pun masih bisa dijual. Konon sebagai bahan campuran membuat dupa juga rokok yang lebih murah. Cengkeh juga merupakan salah satu komponen bumbu dalam masakan Padang dan daerah lainnya di Indonesia yang terkenal sangat enak, terutama rendang yang tersohor di dunia sebagai salah satu makanan terenak dunia, bahkan no. 1 pada tahun 2011 menurut survei CNN International (sumber : http://www.cnngo.com).

Daerah sentra bunga cengkeh bermutu (sesuai standard pabrik rokok besar) antara lain Gorontalo. Sulawesi (Menado dan lain-lain), Maluku, Jawa dan  Kepulauan Natuna (Kepulauan Riau). Kalimantan Barat (Pulau Lemukutan, Pulau Kabung, Pulau Penata di Kabupaten Bengkayang dan Pulau Karimata di Kabupaten Kayong Utara) juga merupakan salah satu sentra penghasil cengkeh.

Adapun mutu cengkeh dinyatakan dengan nilai AB. Komponen AB ini antara lain kadar air dan kadar kotoran. Kadar kotoran ini terdiri dari tangkai yang tersisa, serbuk sari yang pecah, kelopak cengkeh yang terkelupas, biji mati, biji polong. Semakin rendah nilai AB, maka mutu cengkeh makin baik, dengan demikian hargapun makin tinggi. Biasanya pihak pabrik mematok nilai AB 7-8 untuk cengkeh berkualitas. Nilai AB 7-8 ini mencerminkan kadar air rendah dan kadar kotoran rendah. Pengalaman penulis di tahun sebelumnya yang pernah meneliti nilai AB cengkeh produksi Kabupaten Bengkayang, rata-rata di kisaran 12-18 pada saat musim panen. Ada juga petani yang mampu mengolah cengkehnya lebih baik, sehingga ABnya hanya 10-12 saja. Sedangkan untuk cengkeh simpanan di atas 6 (enam) bulan turun menjadi 10-14 (kadar airnya turun signifikan). Dengan demikian masih agak kalah dengan cengkeh Gorontalo, Sulawesi, Maluku maupun Jawa yang nilai ABnya sekitar 8 (sudah memenuhi standard pabrik rokok besar).

image

Brosur sosialisasi peningkatan kualitas cengkeh dari Sampoerna

Perhitungan harga cengkeh sesuai nilai AB misalnya untuk harga plafon dari pabrik adalah Rp 100.000,00/kg, maka cengkeh dengan nilai AB 18 hanya bisa dihargai Rp 82.000,00/kg dan bila nilai ABnya 8 maka bisa dihargai Rp 92.000,00/kg. Harga ini mengabaikan keuntungan buat bandar dan pengusaha penampung, susut timbangan, biaya transportasi laut dan darat serta biaya buruh bongkar-muat, buruh gudang dan biaya lain-lain (packing).

Pasaran bunga cengkeh ini mengalami pasang-surutnya dari masa ke masa. Masa keemasan harga bunga cengkeh adalah di tahun 2011 yang pernah mencapai sekitar Rp 150.000,00 per kilogramnya. Namun harga cengkeh juga pernah mengalami keterpurukan saat adanya monopoli oleh BPPC (Badan Penyangga Perdagangan Cengkeh) di tahun 1990-an, hanya dihargai Rp 2.500,00-Rp 3.000,00/kg. Petani saat itu menjerit, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Pembabatan pohon cengkeh pun tak terhindari karena biaya perawatan tidak seimbang dengan harganya, diganti dengan tanaman lain. Tahun 2000 sempat naik menjadi Rp 75.000,00 namun kemudian anjlok lagi ke harga Rp 13.000,00-Rp 20.000,00 beberapa tahun kemudian. Baru pada tahun 2010 harga cengkeh membaik dan mencapai puncaknya pada tahun 2011 seperti disebutkan di atas.

Harga cengkeh yang terlampau mahal di tahun 2011 lalu malah berdampak negatif. Banyak pabrik rokok, terutama pabrik rokok skala lebih kecil, harus gulung tikar dan mem-PHK para buruh. Ini tentu berdampak terhadap pemasukan negara dari cukai rokok, pengangguran dan perekonomian daerah (PAD) yang banyak pabrik rokoknya. Akhirnya saat itu pemerintah mengijinkan impor cengkeh secara terbatas untuk menstabilkan harga dan menolong pabrik rokok yang kesulitan mendapatkan cengkeh sebagai bahan baku untuk rokok kretek. Namun seiring makin normalnya suplai cengkeh dan anjloknya harga, pemerintah telah menyetop kran impor cengkeh dan harganya pun telah merangkak naik mencapai harga ekuilibrium (harga pasar yang wajar).  Harga pasar yang wajar ini penting untuk menjamin kesejahteraan para petani maupun kelangsungan pabrik rokok.

Pantauan penulis, harga cengkeh di Singkawang akhir-akhir ini adalah antara Rp 100.000,00-Rp 105.000,00 (kuantitas lebih banyak) untuk cengkeh dengan nilai AB rendah. Informasi yang didapat setelah meninjau ke Pulau Lemukutan beberapa waktu lalu, panen cengkeh di sentra cengkeh di Kec. Sei Raya Kepulauan ini akan berlangsung sekitar bulan Februari-April nanti. Semogalah harga bisa bertahan di kisaran harga tersebut nantinya, bila perlu lebih tinggi lagi, dan tentunya para petani harus bisa menjaga mutu produksi kebunnya agar bisa mendapatkan harga yang lebih maksimal (tidak dihargai lebih murah dari pasaran umumnya).

* referensi : id.wikipedia.org/wiki/VOC

Singkawang, 21 Januari 2013